Minggu, 23 September 2012

Presentasi Nominasi IAI AWARD 2012


DAFTAR NOMINASI PENERIMA PENGHARGAAN IAI JAKARTA AWARDS 03 - 2012
1.  Compact House karya Sontang Siregar, IAI
2.  Bare Minimalist karya Realrich Sjarief, IAI
3.  Rumah Tanah Teduh karya Wendy Djuhara, IAI
4.  Kencana House karya Budi Pradono, IAI
5.  Golf Mansion House karya Gregorius Supie Yolodi, IAI & Maria Rosantina, IAI
6.  Pakubuwono View karya Airmas Asri
7.  Hotel Morrissey karya Aboday Architects
8.  Allianz Tower karya Budiman Hendropurnomo, IAI
9.  TMT Tower karya Airmas Asri
10. West One Marketing Office karya Antony Liu, IAI & Ferry Ridwan, IAI
11. Ciputra World Marketing Office karya Gregorius Supie Yolodi, IAI & Maria Rosantina, IAI
12. GMT Institute karya Hendyanto Lim, IAI & Patrick Lim, IAI
13. Gallery Art - Kemayoran karya Sardjono Sani, IAI
14. Komunitas Salihara karya Isandra Matin Ahmad, IAI, Adi Purnomo dan Marco Kusumawijaya
15. Swiss Ambassador Residence karya Cosmas D Gozali, IAI
16. Gedung A PLN karya Boy Bhirawa, IAI

Artikel dan gambar menyusul..

perubahan nama blog

Hi everyone,
Mulai minggu depan, alamat blog akan berubah menjadi :
www.hennyanggreani.blogspot.com


Selasa, 18 September 2012

MAL, SEBUAH RUANG PUBLIK KOTA? MAL VS RUANG LUAR


MAL, SEBUAH RUANG PUBLIK KOTA?
MAL VS RUANG LUAR
OLEH: HENNY ANGGREANI

- Tulisan ini telah diterbitkan di majalah Sketsa, pada tahun 2007, di edisi PINK ARCHITECTURE -

                “Habis kuliah nanti kita ke mal yuk. Uda stress nih,” kata Lily, seorang mahasiswi pada teman-temannya di tengah jadwal kuliah yang padat. “Ok aja.. Tapi kita mau kemana nih?”tanya Anggi, salah seorang temannya.“TA aja..  Gue uda lama ga ke sana.” Jawab temannya yang lain. “Bosen boo… mendingan kita ke CP aje…” kata Sonya menimpali percakapan seru teman-temannya yang rasanya akan berlanjut terus hingga nanti pulang kuliah.

Begitulah keadaan masyarakat kota akhir-akhir ini; menghabiskan waktu luang dengan jalan-jalan di mal menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Baik itu bersama keluarga di hari minggu, atau dengan pacar, atau sekedar bersenang-senang melepas stress dengan teman setelah kuliah seharian. Mal menjadi sebuah ruang public baru bagi warga kota.

Sejarah mal dimulai ketika Edward Bouton pada tahun 1891 menciptakan blok perbelanjaan pertama di Baltimore. Awalnya, pusat perbelanjaan tidak menggunkan kata mal. Istilah mal untuk pusat perbelanjaan muncul pertama kali pada tahun 1950 ketika Northgate Mall dibuka di Seattle. Kata mall berasal dari permainan asal inggris yang disebut pall-mall atau ball and mallet, sejenis permainan kriket yang digabung dengan golf, yang sudah dimainkan sejak tahun 1500an di padang rumput yang hijau. Sejak itulah pusat-pusat perbelajaan disebut dengan mal. Hingga sekarang mal masih menggunakan konsep sebagai pusat hiburan bagi seluruh keluarga, dimana dilengkapi dengan toko, supermarket, bioskop, dan pusat jajanan, sehingga seluruh kebutuhan bisa diperoleh di mal. Mal berkembang menjadi alternative ruang public bagi masyarakat sekitarnya.

                Apakah memang mal merupakan sebuah ruang public bagi masyarakat kota?
                Menurut Stephen Carr, ruang public harus memenuhi tiga hal yaitu responsive, demokratis, dan bermakna. Responsive dalam arti ruang public harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang public seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang social, ekonomi, dan budaya serta aksessibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.  Bermakna berarti ruang public harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas serta dengan konteks social.¹
                Ruang public adalah suatu ruang yang berfungsi mewujudkan keseimbangan kehidupan manusia. Dari segi pribadi, keseimbangan kehidupan dapat tercipta dengan menyalurkan ekspresi dan opininya dalam suasana kebersamaan setelah bergelut dengan kehidupan sehari-hari. Dari segi masyarakat, ruang public dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan warga kota yang heterogen.
Beraktifitas di ruang public menimbulkan kebersamaan diantara warga kota tanpa menghilangkan perbedaan. Karenanya, mal atau pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang public. Walaupun, sekarang ini mal dijadikan sebagai lokasi bertemu dan tempat berekreasi seluruh keluarga. Meskipun terbuka untuk umum, mal tetap bersifat privat. Karena secara tidak langsung, mal memang diperuntukkan untuk masyarakat golongan ekonomi tertentu.

Peningkatan pembangunan mal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya berawal dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada bulan Mei 1998. Kerusuhan yang menghancurkan segala sendi kehidupan itu, menimbulkan efek trauma yang sangat besar. Ancaman terhadap keselamatan terjadi dimana-mana
Akibat dari keadaan yang mencekam ini, orang menjadi takut untuk keluar rumah karena tercipta sterotip bahwa ruang terbuka itu tidak aman. Hal ini membawa dampak yang cukup besar terhadap gaya hidup masyarakat kota.
Contoh konkrit lainnya terjadi di Sudirman square, di Jl. Jendral Sudirman. Awalnya Sudirman square memang dirancang sebagai ruang public berupa alun-alun di kompleks gedung Bank Danamon. Dimana orang bisa melepas kepenatan dan saling berinteraksi. Pada area tersebut dibuat sebuah air mancur yang bisa memancarkan air secara ritmis. Di malam hari, air mancur tersebut tampak lebih indah karena permainan cahaya. Sebelum kerusuhan Mei 1998, areal tersebut sering dikunjungi orang-orang yang datang untuk sekedar nongkrong, atau berjalan-jalan sore bersama keluarga. Namun, setelah terjadinya kerusuhan 1998, areal tersebut ditinggalkan. Tidak ada lagi air yang mancur, tidak ada lagi orang yang duduk-duduk. Yang ada tinggallah sampah yang berserakan. Areal tersebut dijadikan tempat mangkal pada pengemis dan pedangan kaki lima atau pun orang yang sedang menunggu bis. Begitulah nasib ruang publik di kota-kota besar saat itu.
Ruang public merupakan suatu kebutuhan dasar masyarakat kota. Namun karena keadaan kota yang tidak aman serta keadaan ruang public itu sendiri yang tidak aman dan nyaman, maka ruang public ditinggalkan.
Para investor melihat keadaan ini sebagai sebuah peluang usaha. Kebutuhan masyarakat akan ruang public yang aman dan nyaman.
Mal pun akhirnya berlomba-lomba menjadi menyerupai ruang luar. Hal ini dilakukan dengan cara mengimitasi elemen-elemen arsitektur dan suasana ruang terbuka. Umumnya hal ini dilakukan dengan cara menggunakan atrium tinggi untuk menciptakan kesan lapang. Tidak hanya itu, umumnya atrium ini didominasi oleh atap kaca ataupun bahan tembus cahaya untuk memaksimalkan kemiripan dengan ruang luar. Ceasar’s Palace-sebuah mal ternama di Las Vegas, Amerika Serikat- menggunakan langit-langit berteknologi khusus yang mengimitasi langit sebenarnya di ruang terbuka. Keadaan langit-langit di Ceasar’s Palace ini mampu berubah-ubah. Kadang biru dengan awan yang berarakan, kadang bisa meredup seperti sedang mendung, atau bahkan menjingga seperti sore hari.
Sedangkan di Jakarta terdapat Dharmawangsa Square yang berkiblat pada gaya hidup di Champs Elysees di Paris. Mal ini dirancang lengkap dengan jalan raya berbatu kali dan lampu penerang di tepian selasar. Konsep Dharmawangsa Square memang berusaha memindahkan suasana ruang luar ke dlam ruang berupa tiruan kota.
Di bagian kiri kanan selasar yang mirip dengan jalan sungguhan itu berdiri gerai, toko, café, dan restoran yang tampilannya mirip dengan gaya bangunan di Eropa. Tidak ketinggalan  dilengkapi dengan patung-patung bergaya Renaissance dan bagian atapnya dicat biru dengan awan berarakan.
Keadaan mal yang umumnya berkonsep seperti ini, tidak lain adalah untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya. Dengan suasana ruang yang menyerupai ruang luar, pengunjung mal merasa berada di ruang luar, tanpa harus merasa kepanasan. Keadaan mal juga akan selalu bersih dan wangi karena para petugas kebersihan selalu cekatan membersihkan setiap sudut mal.
Selain itu, untuk meningkatkan kenyamanan, kenyataan sehari-hari direduksi. Kita tidak akan menemukan pengemis, gelandangan, pengamen, dan pedagang kaki lima seperti yang kita temukan sehari-hari di jalanan di Indonesia. Bagi pihak mal, mereka adalah orang-orang yang tidak diharapkan masuk ke mal.
Selain kenyamana, keamanan merupakan isu utama dari mal. Satuan patroli keamanan diaktifkan selama 24 jam. Mereka tersebar di seluruh mal baik di pintu masuk maupun diantara pengunjung dengan cara penyamaran. Apalagi dengan meningkatnya isu bom belakangan ini, keamanan makin diketatkan dengan bantuan metal detector dan kamera pengawas. Selain itu, kompleks mal selalu dipagari untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan.
Keadaan yang menyerupai ruang luar namun aman dan nyaman ini tentu membawa aspek positif. Bagi masyarakat kota, mal memang meruapakan ruang public yang nyaman dan aman. Ditilik dari penyebab munculnya mal, masyarakat kota memang mengidam-idamkan keadaan ruang public nyaman dan aman. Pengunjung mal dapat berjalan-jalan santai tanpa harus kepanasan ataupun diganggu oleh pengamen-pengamen seperti yang kadang dialami di jalan. Jujur saja, hampir setiap warga kota menyukainya.
Namun, diluar aspek positif yang ditimbulkan oleh mal, ada pula aspek negative yang ditimbulkannya. Yang paling utama adalah dengan berkembangnya mal, ruang public yang asli mulai ditinggalkan. Alasannya sederhana. Jika ada yang lebih nyaman dan aman, kenapa tidak?
Dengan ditinggalkannya ruang public yang asli, jurang pemisah semakin lebar antar golongan masyarakat. Jika golongan masyarakat ekonomi kuat mampu untuk beraktifitas di mal, Sebaliknya golongan masyarakat ekonomi lemah jelas tidak mampu untuk beraktifitas di mal. Secara tidak langsung mal mengkhususkan diri pada golongan ekonomi tertentu dengan adanya petugas keamanan yang selalu memantau keadaan. Selain itu, berkegiatan di mal jelas membutuhkan uang. Misalnya di Cilandak Town Square, untuk membeli minuman atau makanan pengunjung citos harus mengeluarkan uang Rp 30000 sampai 40000.

Selain memperlebar jurang pemisah antar masyarakat, berkegiatan ke mal menimbulkan budaya konsumerisme di tengah masyarakat. Karena kegiatan utama di mal adalah berbelanja, entah itu belanja makanan, barang, ataupun jasa. Secara tidak langsung masyarakat terpola untuk selalu membeli dan membeli.
Kecenderungan masyarakat kota untuk berkegiatan di mal juga menimbulkan sifat asosial antara masyarakat. Berjalan-jalan di mal mengandung prinsip elu-elu gue-gue karena memang masing-masing orang berkegiatan terpisah, dan tidak ada benang merah yang menghubungkan antara yang satu dengan yang lain. Kebiasaan jalan-jalan di mal juga membuat generasi muda kita tidak peka terhadap kenyataan hidup sehari-hari. Sebagian generasi muda kita hanya tahu yang enak-enak dan senang-senang saja. Mereka tidak tahu bahwa di luar sana masih banyak masyarakat kurang mampu yang harus berjuang keras menghadapi hidup. Akibat ketidakpekaan ini, mereka jadi kurang menghargai lingkungan.
Dari segi arsitektural, berkembangnya mal juga memiliki efek negative. Sifat desain mal yang tidak memiliki batasan konsep, menjadikan desain mal cenderung ‘comot sana comot sini’ yang penting bagus, tanpa mempertimbangkan lebih jauh karakteristik lingkungan. Pengembangan arsitektur yang seperti ini akan menyebabkan arsitektur kota kehilangan jati diri.

Ruang public yang seimbang
                Setelah mengetahui beberapa sisi dari mal, memang tidak dapat dipungkiri bahwa mal sebagai ruang public baru memang tidak terelakan. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan desain, mal akan semakin mengimitasi ruang luar yang aman dan nyaman. Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat kota akan ruang public yang semakin langka di Jakarta.
                Walaupun begitu, keadaan ini harus diimbangi dengan ruang public yang sesungguhnya yang terbuka bagi setiap golongan masyarakat. Sebagai contoh, Central Park di New York, Amerika Serikat. Walaupun mal sudah sangat banyak di sana, pemerintah tetap menyediakan ruang terbuka public yang sebenarnya untuk dinikmati berbagai golongan masyarakat.
                Untuk menciptakan keseimbangan tersebut, sudah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan ruang public yang aman dan nyaman. Tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan semua kepada pemerintah, karena ruang pubik juga baru akan memiliki arti yang sebenarnya ketika ia tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan public tetapi juga ikut dijaga dan dikelola oleh public itu sendiri.
               


Selasa, 28 Agustus 2012

Foodcourt: Urban eating place

Recently, I got job to design two food court in a row. First, a food court in a mall in Balikpapan. Second is a food court facility on an apartment in Bandung. The theme for the first food court is "The Sea", since Balikpapan is a coastal city that grew form its sea. For example, oil offshore and Balikpapan famous for its seafood. Personally, I have visited this city in 2000.

Derived from the main idea, I search for a sea themed food court. It took me to a Hawaii food court. from this, I get inspiration for the ceiling. And as the search continue, I know that the trend of food court is no longer rowed small stall that packed with neon signboard, artificial coconut tree and plastic chairs and stabilo colored surrounding that usually get in mind if someone mentioned food court.

From my examination, it appears that the trend among food court developed differently among the east and west country. In east country, especially Singapore and eventually Indonesia, the trend is about nostalgic and full ornamented food court.

For example, take a look at Food Republic in Singapore. The power of the design is small details and properties that create the ambiance.
Food Republic, Singapore


In my opinion, they don’t use the expensive material, but it’s ok because design is not always about the luxury things but it’s how to create good design with the material that available. The parameter to ‘good design’ is the place itself become economicly success and people buzz about the place’s design. This really happen to Food Republic in Singapore, because so many Indonesian design people who come to Singapore to do field study, they always visit it as a reference. And more over, it create trend that Indonesian people addopt.

In Indonesia, Food Republic is translated into Eat and Eat. A food court that has the similarly same idea to its design. But if in Food Republic, it use old Singapore ambiance, in Eat and Eat, they use the theme of old Jakarta Peranakan ambiance in its branch in Kelapa Gading. As you can see, good design trigger other people to follow.

Appart from the ‘nostalgic’ theme in east country, the west country do big leap in food court concept. They run far and fast, by bringing futuristic concept to foodcourt. The one that very inspirational is the  in New York city. This foodcourt is designed by . the main concept is that people don’t have to face the waitress to order food. They simply give order to the computer and they will pick up the food on the stalls that serve all the visitor. This progressive concept, also translated into its eating hall. They go with all white space. In my opinion, on one side, this colour give higienic message. But, on the other side, all white space is too dull and cold for eating place. Perhaps combining with wood material will help.­
Food Parc, NYC



And there is another foodcourt that becomes my favorite. It’s called URBAN EATERY. Located on Canada, Urban Eatery really give the urban feeling from its design. All stall different from one another. They have freedom to design they own stall. But they all have the red line: contemporer design and material. The united accent is the glass that divide each stall, using stainless border and become the signage with stainless plat. This concept yet artistic and functional. We can imagine that visitor that browse the stall will not have to step back and see the signboard above the head, but just glimpse to the stainless plat that on the eye level. Great idea!
Urban Eatery, Toronto, Canada



Second point of interest is the design of all element in this foodcourt use clean cut finish. It gives efficient and straight forward environment. This also become plus point for maintainance. In this case, I can not deny that expensive material do make leverage to the overall ambiance. For example, they do use rectified floor finish with good quality, check point. Exquisite marble at some stall, check point. High capacity halogen light, check point. Wood finish in some ceiling area which give warm feeling, check point. Solid surface on most of the serving table, check point.

My favorite stall is the Jugo juice and Gelato stall. Jugo juice use shocking pink and a little silver highlight. With minimalis element, it really rock me. Notice that they use wood plank on the front side of the serving table, give balance to its design. Gelato stall, they pick up the right colour for its signboard above, the mauve purple really represent the creamy dreamy gelato ice cream that will cool up your hectic hot day. Overall, i love Urban eatery and hope some day I shall have opportunity to dine in there.

Jugo Juice, Urban Eatery

Last word, designing a food court need theme. Decide first what theme do you want to bring to your foodcourt. Then, create the ambiance with detailing element. In this point, we have to know, which class to this foodcourt will fit in. Third and most important, cleanliness is the major issue. We want to give people good food and HEALTHY. So don’t be lazy to check the work flow and garbage flow to design stage, so that we as an architect will do strong point on clean and healthy eating place. And after you do that all, imagine you eating on that place.. Bon apetite..

Reference:
Flickr: studio maris

Senin, 27 Agustus 2012

New direction

Hi everyone, this blog began as a task for my college course back in 2008.
But now, it will have a new direction. This blog will be a space to share my passion about architecture.
Please enjoy..

Minggu, 08 Juni 2008

daftar isi

bab 1 pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Abstraksi

Spanyol merupakan sebuah negara kerajaan yang telah mengalami suatu sejarah yang menarik dan bergolak. Keadaan alam yang bergunung-gunung dan kering, menjadikannya sebuah negeri yang sukar ditaklukan.

Perjalanan sejarahnya dipengaruhi oleh banyak budaya dan negara. Akar budaya Spanyol berasal dari perpaduan budaya Latin, Visigothic Eropa, Katolik Roma, Islam Timur Tengah, dan lingkungan Mediterania. Hal ini menjadikan Spanyol sebagai sebuah bangsa dengan keragaman budaya yang tinggi.

Keragaman budaya yang tinggi dapat dilihat dari beberapa budaya populer Spanyol seperti tarian flamenco, adu banteng, bull-run, dan tomatina yang banyak mendapat pengaruh dari berbagai latar belakang budaya. Benang merah dari keragaman budaya ini adalah kecintaan akan tantangan, unsur-unsur ‘kegilaan’, chaotic yang diimbuhi suasana kontradiktif.

Di tengah keberagaman budaya tersebut, telah lama di Spanyol terjadi hegemoni kaum Basque yang mayoritas (berpusat di Madrid), terhadap kaum Catalonia yang minoritas (berpusat di Barcelona). Namun, angin segar kebebasan berhembus bagi kaum Catalonia ketika pihak pusat Basque mengalami goncangan dan penurunan di abad ke-18. Hal ini membawa semacam semangat baru nasionalisme Catalonia ke segala bidang, termasuk arsitektur. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang nasionalisme karya-karya Gaudi bagi Catalonia.

Walaupun terjadi ketegangan antara kaum Basque dan kaum Catalonia, tetapi sebagai sesama budaya serumpun, budaya Spanyol secara umum (Basque) dan budaya Catalonia saling mempengaruhi dalam prakteknya. Begitu pula yang terjadi pada antara budaya Spanyol dan Gaudi (sebagai seorang Catalan). Memang, karya-karya Gaudi tidak pernah dikaitkan dengan budaya Spanyol secara keseluruhan, namun unsur-unsur budaya Spanyol secara umum yang mencerminkan keberanian, kecintaan akan tantangan, keberagaman, serta unsur ‘kegilaan’, chaotic, dan kontradiktif ada dalam semangat karya-karya Gaudi.

Karena itu, sebagai seorang mahasiswa arsitektur, penulis berpandangan bahwa sesuatu yang ‘gila’ dalam konteks kreatifitas, bukanlah sesuatu yang selalu negatif. ‘Kegilaan’ dalam berkreasi dapat menjadi semangat desain yang mendorong semangat berkarya dan berinovasi.

1.2. Latar belakang

Latar belakang dari pemilihan topik ini adalah ketika pada kuliah pertama Issue Arsitektur Kontemporer, mahasiswa diajak untuk menjadi ‘gila’ dalam mata kuliah ini.

Kalau mau bicara tentang ‘gila’, maka tokoh saya adalah Antonio Gaudi. Dia arsitek favorit saya; yang karya-karyanya merupakan perkenalan pertama saya dengan arsitektur. Ketika masih SMP, saya pernah menonton acara jalan-jalan ke Spanyol. Waktu itu, si pembawa acara berkunjung ke Casa Milla. Seluruh bangunan tersebut, terutama kolomnya yang bagai dipuntir dari plafon dan meleleh di lantai benar-benar membuat saya terpukau. Sejak saat itu, saya jatuh cinta dengan arsitektur dan jadi penasaran dengan segala hal yang berkaitan dengan Gaudi dan Spanyol.

1.3. Maksud dan tujuan

Melalui tugas ini, diharapkan menjadi jendela pengetahuan baru bagi saya untuk semakin mengenal negara Spanyol pada umumnya dan Antonio Gaudi pada khususnya. Melalui pengetahuan ini diharapkan membawa cara pandang baru terhadap sikap desain, yang dapat menjadi cara pengembangan diri.

1.4. Batasan pembahasan

Laporan ini akan membahas negara Spanyol secara umum terlebih dahulu. Mencakup perkembangan sejarah secara singkat. Lalu akan dibahas tentang beberapa budaya Spanyol yang cukup populer. Spanyol disini diartikan sebagai Spanyol secara umum dan keseluruhan.

Kemudian masuk ke budaya Catalonia yang sebenarnya merupakan budaya mandiri; namun tidak dapat terlepaskan dari pembicaraan mengenai Spanyol pada umumnya. Budaya mandiri Catalonia inilah yang melahirkan tokoh Antonio Gaudi.

Pada bagian Antonio Gaudi akan dibahas tentang latar belakangnya serta karakteristik karyanya. Dari sini akan dicari kaitan antara karakteristik budaya Spanyol secara umum dengan karakteristik karya-karya Gaudi.

Setelah itu diberi pandangan atau pendapat tentang kaitan kedua hal tersebut, termasuk hal-hal yang dapat dibahas dari topik ini.