Selasa, 18 September 2012

MAL, SEBUAH RUANG PUBLIK KOTA? MAL VS RUANG LUAR


MAL, SEBUAH RUANG PUBLIK KOTA?
MAL VS RUANG LUAR
OLEH: HENNY ANGGREANI

- Tulisan ini telah diterbitkan di majalah Sketsa, pada tahun 2007, di edisi PINK ARCHITECTURE -

                “Habis kuliah nanti kita ke mal yuk. Uda stress nih,” kata Lily, seorang mahasiswi pada teman-temannya di tengah jadwal kuliah yang padat. “Ok aja.. Tapi kita mau kemana nih?”tanya Anggi, salah seorang temannya.“TA aja..  Gue uda lama ga ke sana.” Jawab temannya yang lain. “Bosen boo… mendingan kita ke CP aje…” kata Sonya menimpali percakapan seru teman-temannya yang rasanya akan berlanjut terus hingga nanti pulang kuliah.

Begitulah keadaan masyarakat kota akhir-akhir ini; menghabiskan waktu luang dengan jalan-jalan di mal menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Baik itu bersama keluarga di hari minggu, atau dengan pacar, atau sekedar bersenang-senang melepas stress dengan teman setelah kuliah seharian. Mal menjadi sebuah ruang public baru bagi warga kota.

Sejarah mal dimulai ketika Edward Bouton pada tahun 1891 menciptakan blok perbelanjaan pertama di Baltimore. Awalnya, pusat perbelanjaan tidak menggunkan kata mal. Istilah mal untuk pusat perbelanjaan muncul pertama kali pada tahun 1950 ketika Northgate Mall dibuka di Seattle. Kata mall berasal dari permainan asal inggris yang disebut pall-mall atau ball and mallet, sejenis permainan kriket yang digabung dengan golf, yang sudah dimainkan sejak tahun 1500an di padang rumput yang hijau. Sejak itulah pusat-pusat perbelajaan disebut dengan mal. Hingga sekarang mal masih menggunakan konsep sebagai pusat hiburan bagi seluruh keluarga, dimana dilengkapi dengan toko, supermarket, bioskop, dan pusat jajanan, sehingga seluruh kebutuhan bisa diperoleh di mal. Mal berkembang menjadi alternative ruang public bagi masyarakat sekitarnya.

                Apakah memang mal merupakan sebuah ruang public bagi masyarakat kota?
                Menurut Stephen Carr, ruang public harus memenuhi tiga hal yaitu responsive, demokratis, dan bermakna. Responsive dalam arti ruang public harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang public seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang social, ekonomi, dan budaya serta aksessibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.  Bermakna berarti ruang public harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas serta dengan konteks social.¹
                Ruang public adalah suatu ruang yang berfungsi mewujudkan keseimbangan kehidupan manusia. Dari segi pribadi, keseimbangan kehidupan dapat tercipta dengan menyalurkan ekspresi dan opininya dalam suasana kebersamaan setelah bergelut dengan kehidupan sehari-hari. Dari segi masyarakat, ruang public dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan warga kota yang heterogen.
Beraktifitas di ruang public menimbulkan kebersamaan diantara warga kota tanpa menghilangkan perbedaan. Karenanya, mal atau pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang public. Walaupun, sekarang ini mal dijadikan sebagai lokasi bertemu dan tempat berekreasi seluruh keluarga. Meskipun terbuka untuk umum, mal tetap bersifat privat. Karena secara tidak langsung, mal memang diperuntukkan untuk masyarakat golongan ekonomi tertentu.

Peningkatan pembangunan mal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya berawal dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada bulan Mei 1998. Kerusuhan yang menghancurkan segala sendi kehidupan itu, menimbulkan efek trauma yang sangat besar. Ancaman terhadap keselamatan terjadi dimana-mana
Akibat dari keadaan yang mencekam ini, orang menjadi takut untuk keluar rumah karena tercipta sterotip bahwa ruang terbuka itu tidak aman. Hal ini membawa dampak yang cukup besar terhadap gaya hidup masyarakat kota.
Contoh konkrit lainnya terjadi di Sudirman square, di Jl. Jendral Sudirman. Awalnya Sudirman square memang dirancang sebagai ruang public berupa alun-alun di kompleks gedung Bank Danamon. Dimana orang bisa melepas kepenatan dan saling berinteraksi. Pada area tersebut dibuat sebuah air mancur yang bisa memancarkan air secara ritmis. Di malam hari, air mancur tersebut tampak lebih indah karena permainan cahaya. Sebelum kerusuhan Mei 1998, areal tersebut sering dikunjungi orang-orang yang datang untuk sekedar nongkrong, atau berjalan-jalan sore bersama keluarga. Namun, setelah terjadinya kerusuhan 1998, areal tersebut ditinggalkan. Tidak ada lagi air yang mancur, tidak ada lagi orang yang duduk-duduk. Yang ada tinggallah sampah yang berserakan. Areal tersebut dijadikan tempat mangkal pada pengemis dan pedangan kaki lima atau pun orang yang sedang menunggu bis. Begitulah nasib ruang publik di kota-kota besar saat itu.
Ruang public merupakan suatu kebutuhan dasar masyarakat kota. Namun karena keadaan kota yang tidak aman serta keadaan ruang public itu sendiri yang tidak aman dan nyaman, maka ruang public ditinggalkan.
Para investor melihat keadaan ini sebagai sebuah peluang usaha. Kebutuhan masyarakat akan ruang public yang aman dan nyaman.
Mal pun akhirnya berlomba-lomba menjadi menyerupai ruang luar. Hal ini dilakukan dengan cara mengimitasi elemen-elemen arsitektur dan suasana ruang terbuka. Umumnya hal ini dilakukan dengan cara menggunakan atrium tinggi untuk menciptakan kesan lapang. Tidak hanya itu, umumnya atrium ini didominasi oleh atap kaca ataupun bahan tembus cahaya untuk memaksimalkan kemiripan dengan ruang luar. Ceasar’s Palace-sebuah mal ternama di Las Vegas, Amerika Serikat- menggunakan langit-langit berteknologi khusus yang mengimitasi langit sebenarnya di ruang terbuka. Keadaan langit-langit di Ceasar’s Palace ini mampu berubah-ubah. Kadang biru dengan awan yang berarakan, kadang bisa meredup seperti sedang mendung, atau bahkan menjingga seperti sore hari.
Sedangkan di Jakarta terdapat Dharmawangsa Square yang berkiblat pada gaya hidup di Champs Elysees di Paris. Mal ini dirancang lengkap dengan jalan raya berbatu kali dan lampu penerang di tepian selasar. Konsep Dharmawangsa Square memang berusaha memindahkan suasana ruang luar ke dlam ruang berupa tiruan kota.
Di bagian kiri kanan selasar yang mirip dengan jalan sungguhan itu berdiri gerai, toko, cafĂ©, dan restoran yang tampilannya mirip dengan gaya bangunan di Eropa. Tidak ketinggalan  dilengkapi dengan patung-patung bergaya Renaissance dan bagian atapnya dicat biru dengan awan berarakan.
Keadaan mal yang umumnya berkonsep seperti ini, tidak lain adalah untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya. Dengan suasana ruang yang menyerupai ruang luar, pengunjung mal merasa berada di ruang luar, tanpa harus merasa kepanasan. Keadaan mal juga akan selalu bersih dan wangi karena para petugas kebersihan selalu cekatan membersihkan setiap sudut mal.
Selain itu, untuk meningkatkan kenyamanan, kenyataan sehari-hari direduksi. Kita tidak akan menemukan pengemis, gelandangan, pengamen, dan pedagang kaki lima seperti yang kita temukan sehari-hari di jalanan di Indonesia. Bagi pihak mal, mereka adalah orang-orang yang tidak diharapkan masuk ke mal.
Selain kenyamana, keamanan merupakan isu utama dari mal. Satuan patroli keamanan diaktifkan selama 24 jam. Mereka tersebar di seluruh mal baik di pintu masuk maupun diantara pengunjung dengan cara penyamaran. Apalagi dengan meningkatnya isu bom belakangan ini, keamanan makin diketatkan dengan bantuan metal detector dan kamera pengawas. Selain itu, kompleks mal selalu dipagari untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan.
Keadaan yang menyerupai ruang luar namun aman dan nyaman ini tentu membawa aspek positif. Bagi masyarakat kota, mal memang meruapakan ruang public yang nyaman dan aman. Ditilik dari penyebab munculnya mal, masyarakat kota memang mengidam-idamkan keadaan ruang public nyaman dan aman. Pengunjung mal dapat berjalan-jalan santai tanpa harus kepanasan ataupun diganggu oleh pengamen-pengamen seperti yang kadang dialami di jalan. Jujur saja, hampir setiap warga kota menyukainya.
Namun, diluar aspek positif yang ditimbulkan oleh mal, ada pula aspek negative yang ditimbulkannya. Yang paling utama adalah dengan berkembangnya mal, ruang public yang asli mulai ditinggalkan. Alasannya sederhana. Jika ada yang lebih nyaman dan aman, kenapa tidak?
Dengan ditinggalkannya ruang public yang asli, jurang pemisah semakin lebar antar golongan masyarakat. Jika golongan masyarakat ekonomi kuat mampu untuk beraktifitas di mal, Sebaliknya golongan masyarakat ekonomi lemah jelas tidak mampu untuk beraktifitas di mal. Secara tidak langsung mal mengkhususkan diri pada golongan ekonomi tertentu dengan adanya petugas keamanan yang selalu memantau keadaan. Selain itu, berkegiatan di mal jelas membutuhkan uang. Misalnya di Cilandak Town Square, untuk membeli minuman atau makanan pengunjung citos harus mengeluarkan uang Rp 30000 sampai 40000.

Selain memperlebar jurang pemisah antar masyarakat, berkegiatan ke mal menimbulkan budaya konsumerisme di tengah masyarakat. Karena kegiatan utama di mal adalah berbelanja, entah itu belanja makanan, barang, ataupun jasa. Secara tidak langsung masyarakat terpola untuk selalu membeli dan membeli.
Kecenderungan masyarakat kota untuk berkegiatan di mal juga menimbulkan sifat asosial antara masyarakat. Berjalan-jalan di mal mengandung prinsip elu-elu gue-gue karena memang masing-masing orang berkegiatan terpisah, dan tidak ada benang merah yang menghubungkan antara yang satu dengan yang lain. Kebiasaan jalan-jalan di mal juga membuat generasi muda kita tidak peka terhadap kenyataan hidup sehari-hari. Sebagian generasi muda kita hanya tahu yang enak-enak dan senang-senang saja. Mereka tidak tahu bahwa di luar sana masih banyak masyarakat kurang mampu yang harus berjuang keras menghadapi hidup. Akibat ketidakpekaan ini, mereka jadi kurang menghargai lingkungan.
Dari segi arsitektural, berkembangnya mal juga memiliki efek negative. Sifat desain mal yang tidak memiliki batasan konsep, menjadikan desain mal cenderung ‘comot sana comot sini’ yang penting bagus, tanpa mempertimbangkan lebih jauh karakteristik lingkungan. Pengembangan arsitektur yang seperti ini akan menyebabkan arsitektur kota kehilangan jati diri.

Ruang public yang seimbang
                Setelah mengetahui beberapa sisi dari mal, memang tidak dapat dipungkiri bahwa mal sebagai ruang public baru memang tidak terelakan. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan desain, mal akan semakin mengimitasi ruang luar yang aman dan nyaman. Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat kota akan ruang public yang semakin langka di Jakarta.
                Walaupun begitu, keadaan ini harus diimbangi dengan ruang public yang sesungguhnya yang terbuka bagi setiap golongan masyarakat. Sebagai contoh, Central Park di New York, Amerika Serikat. Walaupun mal sudah sangat banyak di sana, pemerintah tetap menyediakan ruang terbuka public yang sebenarnya untuk dinikmati berbagai golongan masyarakat.
                Untuk menciptakan keseimbangan tersebut, sudah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan ruang public yang aman dan nyaman. Tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan semua kepada pemerintah, karena ruang pubik juga baru akan memiliki arti yang sebenarnya ketika ia tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan public tetapi juga ikut dijaga dan dikelola oleh public itu sendiri.
               


Tidak ada komentar: