MAL, SEBUAH RUANG PUBLIK KOTA?
MAL
VS RUANG LUAR
OLEH:
HENNY ANGGREANI
- Tulisan ini telah diterbitkan di majalah Sketsa, pada tahun 2007, di edisi PINK ARCHITECTURE -
“Habis kuliah nanti kita ke mal yuk. Uda stress nih,” kata Lily,
seorang mahasiswi pada teman-temannya di tengah jadwal kuliah yang padat. “Ok
aja.. Tapi kita mau kemana nih?”tanya Anggi, salah seorang temannya.“TA
aja.. Gue uda lama ga ke sana.” Jawab temannya yang
lain. “Bosen boo… mendingan kita ke CP aje…” kata Sonya menimpali percakapan
seru teman-temannya yang rasanya akan berlanjut terus hingga nanti pulang
kuliah.
Begitulah
keadaan masyarakat kota akhir-akhir ini; menghabiskan waktu luang dengan
jalan-jalan di mal menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Baik
itu bersama keluarga di hari minggu, atau dengan pacar, atau sekedar
bersenang-senang melepas stress dengan teman setelah kuliah seharian. Mal
menjadi sebuah ruang public baru bagi warga kota.
Sejarah mal dimulai ketika Edward Bouton pada tahun
1891 menciptakan blok perbelanjaan pertama di Baltimore. Awalnya, pusat
perbelanjaan tidak menggunkan kata mal. Istilah mal untuk pusat perbelanjaan
muncul pertama kali pada tahun 1950 ketika Northgate Mall dibuka di Seattle. Kata
mall berasal dari permainan asal inggris yang disebut pall-mall atau ball and
mallet, sejenis permainan kriket yang digabung dengan golf, yang sudah
dimainkan sejak tahun 1500an di padang
rumput yang hijau. Sejak itulah pusat-pusat perbelajaan disebut dengan mal.
Hingga sekarang mal masih menggunakan konsep sebagai pusat hiburan bagi seluruh
keluarga, dimana dilengkapi dengan toko, supermarket, bioskop, dan pusat
jajanan, sehingga seluruh kebutuhan bisa diperoleh di mal. Mal berkembang
menjadi alternative ruang public bagi masyarakat sekitarnya.
Apakah
memang mal merupakan sebuah ruang public bagi masyarakat kota?
Menurut
Stephen Carr, ruang public harus memenuhi tiga hal yaitu responsive,
demokratis, dan bermakna. Responsive dalam arti ruang public harus dapat
digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis
berarti ruang public seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari
berbagai latar belakang social, ekonomi, dan budaya serta aksessibel bagi
berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna
berarti ruang public harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas
serta dengan konteks social.¹
Ruang
public adalah suatu ruang yang berfungsi mewujudkan keseimbangan kehidupan
manusia. Dari segi pribadi, keseimbangan kehidupan dapat tercipta dengan
menyalurkan ekspresi dan opininya dalam suasana kebersamaan setelah bergelut
dengan kehidupan sehari-hari. Dari segi masyarakat, ruang public dibutuhkan
untuk menyeimbangkan kehidupan warga kota
yang heterogen.
Beraktifitas di ruang public menimbulkan kebersamaan
diantara warga kota
tanpa menghilangkan perbedaan. Karenanya, mal atau pusat perbelanjaan tidak
akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang public. Walaupun, sekarang ini mal
dijadikan sebagai lokasi bertemu dan tempat berekreasi seluruh keluarga. Meskipun
terbuka untuk umum, mal tetap bersifat privat. Karena secara tidak langsung,
mal memang diperuntukkan untuk masyarakat golongan ekonomi tertentu.
Peningkatan pembangunan mal di Jakarta
dan kota-kota besar lainnya berawal dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada bulan Mei
1998. Kerusuhan yang menghancurkan segala sendi kehidupan itu, menimbulkan efek
trauma yang sangat besar. Ancaman terhadap keselamatan terjadi dimana-mana
Akibat dari keadaan yang mencekam ini, orang menjadi
takut untuk keluar rumah karena tercipta sterotip bahwa ruang terbuka itu tidak
aman. Hal ini membawa dampak yang cukup besar terhadap gaya
hidup masyarakat kota.
Contoh konkrit lainnya terjadi di Sudirman square,
di Jl. Jendral Sudirman. Awalnya Sudirman square memang dirancang sebagai ruang
public berupa alun-alun di kompleks gedung Bank Danamon. Dimana orang bisa
melepas kepenatan dan saling berinteraksi. Pada area tersebut dibuat sebuah air
mancur yang bisa memancarkan air secara ritmis. Di malam hari, air mancur
tersebut tampak lebih indah karena permainan cahaya. Sebelum kerusuhan Mei
1998, areal tersebut sering dikunjungi orang-orang yang datang untuk sekedar
nongkrong, atau berjalan-jalan sore bersama keluarga. Namun, setelah terjadinya
kerusuhan 1998, areal tersebut ditinggalkan. Tidak ada lagi air yang mancur,
tidak ada lagi orang yang duduk-duduk. Yang ada tinggallah sampah yang
berserakan. Areal tersebut dijadikan tempat mangkal pada pengemis dan pedangan
kaki lima atau
pun orang yang sedang menunggu bis. Begitulah nasib ruang publik di kota-kota
besar saat itu.
Ruang public merupakan suatu kebutuhan dasar
masyarakat kota.
Namun karena keadaan kota
yang tidak aman serta keadaan ruang public itu sendiri yang tidak aman dan
nyaman, maka ruang public ditinggalkan.
Para investor melihat keadaan ini sebagai sebuah peluang usaha. Kebutuhan
masyarakat akan ruang public yang aman dan nyaman.
Mal pun akhirnya berlomba-lomba menjadi menyerupai
ruang luar. Hal ini dilakukan dengan cara mengimitasi elemen-elemen arsitektur
dan suasana ruang terbuka. Umumnya hal ini dilakukan dengan cara menggunakan
atrium tinggi untuk menciptakan kesan lapang. Tidak hanya itu, umumnya atrium
ini didominasi oleh atap kaca ataupun bahan tembus cahaya untuk memaksimalkan
kemiripan dengan ruang luar. Ceasar’s Palace-sebuah mal ternama di Las Vegas, Amerika Serikat-
menggunakan langit-langit berteknologi khusus yang mengimitasi langit
sebenarnya di ruang terbuka. Keadaan langit-langit di Ceasar’s Palace ini mampu
berubah-ubah. Kadang biru dengan awan yang berarakan, kadang bisa meredup
seperti sedang mendung, atau bahkan menjingga seperti sore hari.
Sedangkan di Jakarta terdapat Dharmawangsa Square yang berkiblat pada gaya hidup di Champs
Elysees di Paris. Mal ini dirancang lengkap dengan jalan raya berbatu kali dan
lampu penerang di tepian selasar. Konsep
Dharmawangsa Square memang berusaha memindahkan
suasana ruang luar ke dlam ruang berupa tiruan kota.
Di bagian kiri kanan selasar yang mirip dengan jalan
sungguhan itu berdiri gerai, toko, café, dan restoran yang tampilannya mirip
dengan gaya
bangunan di Eropa. Tidak ketinggalan dilengkapi dengan patung-patung bergaya Renaissance
dan bagian atapnya dicat biru dengan awan berarakan.
Keadaan mal yang umumnya berkonsep seperti ini,
tidak lain adalah untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya. Dengan
suasana ruang yang menyerupai ruang luar, pengunjung mal merasa berada di ruang
luar, tanpa harus merasa kepanasan. Keadaan mal juga akan selalu bersih dan
wangi karena para petugas kebersihan selalu cekatan membersihkan setiap sudut
mal.
Selain itu, untuk meningkatkan kenyamanan, kenyataan
sehari-hari direduksi. Kita tidak akan menemukan pengemis, gelandangan,
pengamen, dan pedagang kaki lima seperti yang
kita temukan sehari-hari di jalanan di Indonesia. Bagi pihak mal, mereka
adalah orang-orang yang tidak diharapkan masuk ke mal.
Selain kenyamana, keamanan merupakan isu utama dari
mal. Satuan patroli keamanan diaktifkan selama 24 jam. Mereka tersebar di
seluruh mal baik di pintu masuk maupun diantara pengunjung dengan cara
penyamaran. Apalagi dengan meningkatnya isu bom belakangan ini, keamanan makin
diketatkan dengan bantuan metal detector dan kamera pengawas. Selain itu,
kompleks mal selalu dipagari untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak
diinginkan.
Keadaan yang menyerupai ruang luar namun aman dan
nyaman ini tentu membawa aspek positif. Bagi masyarakat kota, mal memang meruapakan ruang public yang
nyaman dan aman. Ditilik dari penyebab munculnya mal, masyarakat kota memang
mengidam-idamkan keadaan ruang public nyaman dan aman. Pengunjung mal dapat
berjalan-jalan santai tanpa harus kepanasan ataupun diganggu oleh
pengamen-pengamen seperti yang kadang dialami di jalan. Jujur saja, hampir
setiap warga kota
menyukainya.
Namun, diluar aspek positif yang ditimbulkan oleh
mal, ada pula aspek negative yang ditimbulkannya. Yang paling utama adalah
dengan berkembangnya mal, ruang public yang asli mulai ditinggalkan. Alasannya
sederhana. Jika ada yang lebih nyaman dan aman, kenapa tidak?
Dengan ditinggalkannya ruang public yang asli,
jurang pemisah semakin lebar antar golongan masyarakat. Jika golongan
masyarakat ekonomi kuat mampu untuk beraktifitas di mal, Sebaliknya golongan
masyarakat ekonomi lemah jelas tidak mampu untuk beraktifitas di mal. Secara
tidak langsung mal mengkhususkan diri pada golongan ekonomi tertentu dengan
adanya petugas keamanan yang selalu memantau keadaan. Selain itu, berkegiatan
di mal jelas membutuhkan uang. Misalnya
di Cilandak Town Square, untuk membeli minuman
atau makanan pengunjung citos harus mengeluarkan uang Rp 30000 sampai 40000.
Selain memperlebar jurang pemisah antar masyarakat,
berkegiatan ke mal menimbulkan budaya konsumerisme di tengah masyarakat. Karena
kegiatan utama di mal adalah berbelanja, entah itu belanja makanan, barang,
ataupun jasa. Secara tidak langsung masyarakat terpola untuk selalu membeli dan
membeli.
Kecenderungan masyarakat kota untuk berkegiatan di mal juga menimbulkan
sifat asosial antara masyarakat. Berjalan-jalan di mal mengandung prinsip elu-elu gue-gue karena memang
masing-masing orang berkegiatan terpisah, dan tidak ada benang merah yang
menghubungkan antara yang satu dengan yang lain. Kebiasaan jalan-jalan di mal
juga membuat generasi muda kita tidak peka terhadap kenyataan hidup
sehari-hari. Sebagian generasi muda kita hanya tahu yang enak-enak dan senang-senang
saja. Mereka tidak tahu bahwa di luar sana
masih banyak masyarakat kurang mampu yang harus berjuang keras menghadapi
hidup. Akibat ketidakpekaan ini, mereka jadi kurang menghargai lingkungan.
Dari segi arsitektural, berkembangnya mal juga
memiliki efek negative. Sifat desain mal yang tidak memiliki batasan konsep,
menjadikan desain mal cenderung ‘comot sana comot sini’ yang
penting bagus, tanpa mempertimbangkan lebih jauh karakteristik lingkungan.
Pengembangan arsitektur yang seperti ini akan menyebabkan arsitektur kota kehilangan jati diri.
Ruang public yang seimbang
Setelah
mengetahui beberapa sisi dari mal, memang tidak dapat dipungkiri bahwa mal
sebagai ruang public baru memang tidak terelakan. Dengan semakin berkembangnya
teknologi dan desain, mal akan semakin mengimitasi ruang luar yang aman dan
nyaman. Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat kota akan ruang public yang semakin langka di
Jakarta.
Walaupun
begitu, keadaan ini harus diimbangi dengan ruang public yang sesungguhnya yang
terbuka bagi setiap golongan masyarakat. Sebagai contoh, Central Park di New York, Amerika
Serikat. Walaupun mal sudah sangat banyak di sana, pemerintah tetap menyediakan ruang
terbuka public yang sebenarnya untuk dinikmati berbagai golongan masyarakat.
Untuk
menciptakan keseimbangan tersebut, sudah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat
untuk bersama-sama menciptakan ruang public yang aman dan nyaman. Tanggung
jawab ini tidak bisa dilimpahkan semua kepada pemerintah, karena ruang pubik
juga baru akan memiliki arti yang sebenarnya ketika ia tidak hanya
diperuntukkan bagi kepentingan public tetapi juga ikut dijaga dan dikelola oleh
public itu sendiri.